Cinta Segerobak Sampah

Malam itu Jakarta masih sembab. Belum lama tangisan membajiri Tugu tani, tempat kendaraan maut merenggut nyawa-nyawa yang tak menyangka akan dijemput ajal hari itu.

Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Di atas sana, bulan bersinar bulat, namun samar. Sebab awan-awan menghitam, memenuhi langit berpolusi Ibu Kota.

Di sudut lain, di sisi selatan Jakarta, hampir tepat tengah malam. Sepasang suami istri berjalan membelah dingin rintik malam, mendorong sebuah gerobak sampah -yang berukuran agak besar dari kebiasaan mata- bergantian.

Di saat pasangan suami-istri lain mugkin sedang bercumbu dalam selimut hangat, mereka harus meninggalkan istana kardus dan anak-anak mereka demi menyambung nafas ke esok hari.

Satu persatu tambang emas mereka singgahi.

Di depan rumah Pak RT dan warga-warganya, di halaman mesjid, di depan rumah makan, dan ada beberapa yang berserakkan di jalanan. Yang layak jual mereka tampung di dalam gerobak kayu tua itu.

Di dalam situ pun emas-emas sudah dipilah berdasarkan jenisnya,  emas plastik, emas kertas, emas alumunium, dan emas besi, rapih teratur ditindis karung-karung besar terisi penuh, entah emas jenis apa. Jelasnya bukan emas logam.

Yang itu, mas. Sang istri kadang lebih teliti menyisir area kerja mereka.

Tak peduli betapapun basah dan dinginnya malam itu, entah juga perut mereka sudah terisi atau sedang keroncongan, langkah demi langkah yang mereka ayunkan syarat keyakinan dan syukur akan takdir.

Bahwa mereka berdua tengah menikmati bulan madu tanpa akhir sejak malam pertama mereka menikah.

Sesekali mereka saling pandang disela-sela percakapan panjang mereka tentang masa depan yang akan segera terbit.

Tak jauh-jauh, masa depan mereka tinggal beberapa jam lagi. Begitu matahari terbit, dan toko jual-beli emas langganan mereka dibuka, saat itulah mereka larut dalam suasana bahagia bercampur sedih karena segerobak masa lalu mereka tenyata hanya menghasilkan masa depan yang tak akan lebih dari tiga puluh ribu rupiah dan tahu beberapa peri kecil sedang kelaparan menunggu mereka dengan gelisah.

Malam itu, aku baru saja menyelesaikan beberapa sajak puing-puing  hati ku yang sangat mendayu sebelum menghadiri perjamuan di tukang ketoprak kegemaranku.

Hujan masih rintik, malam semakin larut dan dingin.

Sepasang suami-istri kulihat berlalu dengan tawa centil seperti sedang pacaran tengah merenda mimpi, menyusuri lorong-lorong sepi, bergantian mendorong segerobak cinta.

Sayang hanya sekejap keindahan itu kusaksikan, suara dan warna mereka menjauh, lalu menghilang di kegelapan.

Menteng Atas Dua, Januari 2012
Nino Zulfikar

No comments:

Apa pendapatmu?

Powered by Blogger.