Belajar Egois

Masing-masing kita adalah pemain utama dalam kehidupan kita sendiri. Seorang teman pernah melanjutkan, "kecuali kita terperangkap di kisah orang lain."

Dalam hidup, setiap persimpangan yang kita miliki menuntut keputusan yang tepat, baik substansi dan waktunya. Seperti yang sudah-sudah, sebuah keputusan tidak diambil kecuali ada dua pihak: setuju dan sinis.

Dari pengalaman sebagai orang Indonesia tulen, tentulah kita cenderung mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri saat ingin membuat sebuah tidakan. Sudah terprogram oleh pemerintah dari pelajaran PKn. Makanya ada istilah di masyarakat kita: "apa kata tetangga?"
Padahal, apa hubungannya?

Tapi, menurut saya, lambat laun kebiasaan itu cenderung tidak membangun. Paling tidak, akan timbul perasaan menjadi pemain pendukung di kisah kehidupan orang lain. Seperti ketakutan akan disisihkan jika tidak berkontribusi positif terhadap nilai yang dianut lingkungan. Walaupun di satu sisi, saya setuju dengan "orang yang besar adalah pelayan bagi lingkungannya".

Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi seorang seniman dan keluarga besarnya mayoritas akademisi, akan terasa sangat egois ketika dia memutuskan untuk melanjutkan ambisinya membuat sebuah master piece.

Sebab sistem dalam masyarakat, di manapun itu, telah dirancang anti perbedaan, meyangkut hal apapun. Tidak melihat timbangan benar-salah.

Jadi kesimpulan saya, manusia tidak dibekali egoisme tanpa alasan. Dalam situasi tertentu, egoisme perlu mengambil peran dalam pengambilan keputusan. Tapi satu hal, egoisme yang membangun adalah yang didasari pengetahuan dan gambaran besar yang jelas mengenai mengapa keputusan tersebut dibuat.

Atau, bisa jadi ini hanya persoalan sudut pandang. Entahlah. :)


"Yesterday I was clever, so i wanted to change the world. Today I am wise, I want to change my self."

"Kemarin aku menjadi pintar, karenanya aku ingin merubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, aku ingin merubah diriku sendiri." ~ Rumi

No comments:

Apa pendapatmu?

Powered by Blogger.